Saturday, November 12, 2011

Tugas ISD 1 Interaksi sosial

suasana anak-anak SD di kelas


Ini adalah contoh interaksi sosial antar kelompok. Penjelasannya gambar ini menunjukkan interaksi antara anak-anak SD dan lingkungannya. Lingkungan yang beraneka ragam senantiasa memberikan rangsangan kepada individu untuk berpartisipasi dan mengikutinya serta berupaya untuk meniru dan mengidentifikasinya, apabila dianggap sesuai dengan dirinya. Satu sama lain saling menyibukkan diri. Ada yang mengerjakan tugas bersama, ada juga yang tekun sendiri dan tidak ketinggalan ada juga yang bersikap santai sambil bersenda gurau. Apabila seorang anak yang senantiasa bergaul dengan temannya yang rajin belajar, sedikit banyaknya sifat rajin dari temannya akan diikutinya sehingga lama kelamaan dia pun berubah menjadi anak yang rajin. Begitu pula sebaliknya bila lingkungan kita tidak baik sedikit banyak kita akan terpengaruh.
            

Tugas ISD 2 ruang sosial

Nasib Pejalan Kaki di Kota



Manajemen dan rekayasa mengatur dan menempatkan pengguna jalan agar terjaga keselamatannya dan terlindung dari gangguan dan rasa takut. Jadi, jalan adalah ’ruang sosial’ yang merupakan ’tempat’ untuk berlalu lintas. Ada banyak ruang sosial lain, seperti lapangan, taman, pasar, dan mal, tetapi bukan ’tempat’ untuk berlalu lintas.
Jakarta tahun 1950-an berbeda dari sekarang. Ruang sosial masih digunakan sesuai dengan fungsinya. Masih ada jalur sepeda dan becak. Masih banyak orang bersepeda. Trotoar masih bisa digunakan dengan leluasa oleh pejalan kaki. Kendaraan umum selain becak hanya oplet, bus, dan trem yang melintas di beberapa jalan besar, seperti Salemba, Senen, dan kawasan Kota. Mobil masih terbatas, sebagian besar mobil dinas. Kereta api lingkar kota masih berjalan dengan baik dan tertib. Maklum, penduduk Jakarta belum sepadat sekarang. Penduduk Indonesia, seperti sering didengungkan Bung Karno, hanya 50 juta jiwa, seperlima dari jumlah penduduk tahun 2011.
Namun, zaman berubah. Terjadi perubahan pemaknaan sosial atas tempat yang disebut ”jalan”. Saya tak tahu kapan dimulainya. Pembangunan jalan-jalan di kota-kota kita—termasuk di Jakarta—seakan tidak memasukkan jalur khusus bagi pejalan kaki. Yang dipentingkan adalah jalur kendaraan bermotor. Secara tambal sulam dibuatlah jalur kendaraan roda dua, tiga, dan empat. Itu pun tak konsisten sehingga jalan-jalan di kota diisi aneka ragam pengguna: bus, truk, mobil pribadi, taksi, sepeda motor, bajaj, bemo, becak, sepeda, gerobak penjaja makanan, dan pejalan kaki. Mungkin masih ada lagi yang belum saya sebutkan. Itulah potret jalan di Jakarta.
Belakangan kita mendengar wacana ”jalur khusus sepeda”. Ini karena ada gerakan bike-to-work yang ditanggapi positif oleh Gubernur DKI Jakarta. Padahal, tahun 1950-an bike-to-work dan bike-to-school sudah ada meski tanpa nama. Bagaimana dengan pejalan kaki? Yang jelas tidak ada wacana walk-to-work.
Tempat pejalan kaki ada di ”trotoar”, istilah dari bahasa Perancis, trotoir, yang makna dan fungsi aslinya adalah ’jalur orang berkuda’. Tempatnya di sisi jalan kendaraan besar dan letaknya agak tinggi, sekitar 20 sentimeter dari permukaan jalur kendaraan besar. Lebarnya 2-3 meter. Tempat itu kemudian menjadi jalur khusus untuk pejalan kaki.
Di Amerika Serikat, jalur pejalan kaki disebut sidewalk. Kata walk bermakna bahwa di ”jalan” ada jalur khusus bagi pejalan kaki. Di banyak kota di negara maju, jalur ini bagian dari pembangunan jalan dan memang digunakan seperti seharusnya.

Berubah jadi ruang
Apa yang terjadi kemudian di kota-kota kita, termasuk Jakarta? Memang ada trotoar, tetapi maknanya secara semiotik dan fungsional jadi lain. Sebagai ruang sosial, trotoar tak lagi dimaknai sebagai ’jalan khusus’, tetapi ’ruang sosial kosong’. Tumbuhlah pedagang kaki lima yang mengisi ruang sosial ”kosong” itu.
Ada suatu masa istilah kaki lima dibahas para pengamat etimologi bahasa. Menurut hemat saya, pembahasan itu makin memberi peluang memaknai trotoar sebagai ’tempat berdagang’, bukan ’jalur’ atau ’jalan’. Jumlah pedagang kaki lima bertambah, seakan direstui secara tidak resmi oleh aparat birokrasi karena dikenai ”pajak” tidak resmi pula. Masyarakat pun seakan menganggap memang trotoar itu sebuah ’ruang kosong’ yang patut dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas. Padahal, trotoar itu, termasuk dalam ”lalu lintas jalan”, adalah ’tempat’ khusus bagi pejalan kaki. Akibatnya, kini pejalan kaki ”terbuang dari jalurnya”. Ia terpaksa menggunakan jalur kendaraan bermotor. Alhasil, makna ’jalur’ menjadi ’ruang’ yang diisi sebagai ’tempat’ untuk kegiatan yang bukan berjalan kaki. Jalan menuju penerapan UU LLAJ secara konsisten masih jauh. UU LLAJ diterbitkan tahun 2009 dan setakat kini peraturan pemerintahnya belum keluar karena masih digodok. Setelah itu, masih harus diterjemahkan ke dalam peraturan daerah untuk dapat dilaksanakan di setiap daerah, khususnya perkotaan.
Bagaimanapun, pemerintah kota perlu menata kembali makna dan fungsi trotoar sebagai ’jalan’ dan bukan ’ruang kosong’ serta menyediakan jalur yang nyaman bagi para pejalan kaki. Tanpa menunggu PP dan perda, semestinya UU LLAJ sudah dapat diterjemahkan dalam pembenahan atau pembangunan jalan baru.

Sumber: http://megapolitan.kompas.com/read/2011/05/07/02454520/Nasib.Pejalan.Kaki.di.Kota

Tugas ISD 3 ruang intim sosial

            Ruang intim sosial adalah ruang dimana terjadinya interaksi sosial yang lebih intim disertai penggunaan ruang yang lebih intim. Ini adalah salah satu contoh dari ruang intim:


                                                                         ruang rapat DPR


Gambar diatas adalah contoh dari ruang intim sosial di Indonesia yang berada di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Saya sebut ini ruang intim sosial karena, terdapat kumpulan banyak orang dari kalangan tertentu saja yang bisa masuk ke gedung ini.