ILMU SOSIAL DASAR
Etnosentris, Prasangka dan Diskriminasi
Etnosentris
Menurut Matsumoto (1996) etnosentrisme adalah kecenderungan melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Berdasarkan definisi ini etnosentrisme tidak selalu tidak selalu negatif sebagaimana umumnya dipahami. Etnosentrisme dalam hal tertentu juga merupakan sesuatu yang positif. Tidak seperti anggapan umum yang mengatakan bahwa etnosentrisme merupakan sesuatu yang semata-mata buruk, etnosentrisme juga merupakan sesuatu yang fungsional karena mendorong kelompok dalam perjuangan mencari kekuasaan dan kekayaan.
Etnosentrisme memiliki dua
tipe yang satu sama lain saling berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme
fleksibel. Seseorang yang memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara
meletakkan etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap
suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta menafsirkan
perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Tipe kedua adalah
etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan dengan ketidakmampuan
untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu
berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang
lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Indikator terbaik menentukan tipe etnosentrisme seseorang dapat ditemukan pada respon orang tersebut dalam menginterpretasi perilaku orang lain. Misalnya Pita, seorang etnis Minang makan sambil jalan di gang rumah kita di Jogja, jika kita semata-mata memandang dari perspektif sendiri dan mengatakan “dia memang buruk”, “dia tidak sopan”, atau “itulah mengapa dia tidak disukai” berarti kita memiliki etnosentrisme yang kaku. Tapi jika mengatakan “itulah cara yang dia pelajari untuk melakukannya,” berarti mungkin kita memiliki etnosentrisme yang fleksibel. Lawan dari etnosentrisme adalah etnorelativisme, yaitu kepercayaan bahwa semua kelompok, semua budaya dan subkultur pada hakekatnya sama (Daft, 1999). Dalam etnorelativisme setiap etnik dinilai memiliki kedudukan yang sama penting dan sama berharganya. Dalam bahasa filsafat, orang yang mampu mencapai pengertian demikian adalah orang yang telah mencapai tahapan sebagai manusia sejati; manusia humanis.
Indikator terbaik menentukan tipe etnosentrisme seseorang dapat ditemukan pada respon orang tersebut dalam menginterpretasi perilaku orang lain. Misalnya Pita, seorang etnis Minang makan sambil jalan di gang rumah kita di Jogja, jika kita semata-mata memandang dari perspektif sendiri dan mengatakan “dia memang buruk”, “dia tidak sopan”, atau “itulah mengapa dia tidak disukai” berarti kita memiliki etnosentrisme yang kaku. Tapi jika mengatakan “itulah cara yang dia pelajari untuk melakukannya,” berarti mungkin kita memiliki etnosentrisme yang fleksibel. Lawan dari etnosentrisme adalah etnorelativisme, yaitu kepercayaan bahwa semua kelompok, semua budaya dan subkultur pada hakekatnya sama (Daft, 1999). Dalam etnorelativisme setiap etnik dinilai memiliki kedudukan yang sama penting dan sama berharganya. Dalam bahasa filsafat, orang yang mampu mencapai pengertian demikian adalah orang yang telah mencapai tahapan sebagai manusia sejati; manusia humanis.
Etnosentrisme membuat
kebudayaan kita sebagai patokan untuk mengukur baik-buruknya kebudayaan lain
dalam proporsi kemiripannya dengan budaya kita. Ini dinyatakaan dalam ungkapan
: “orang-orang terpilih”, “progresif”, “ras yang unggul”, dan sebagainya.
Biasanya kita cepat mengenali sifat etnosentris pada orang lain dan lambat
mengenalinya pada diri sendiri.
Sebagian besar, meskipun tidak semuanya, kelompok dalam suatu masyarakat bersifat etnosentrisme. Semua kelompok merangsang pertumbuhan etnosentrisme, tetapi tidak semua anggota kelompok sama etnosentris. Sebagian dari kita adalah sangat etnosentris untuk mengimbangi kekurangan-kekurangan kita sendiri. Kadang-kadang dipercaya bahwa ilmu sosial telah membentuk kaitan erat antara pola kepribadian dan etnosentrisme.
Contohnya: Tidak mau menerima kebudayaan dari luar yg dianggap merusak.
Sebagian besar, meskipun tidak semuanya, kelompok dalam suatu masyarakat bersifat etnosentrisme. Semua kelompok merangsang pertumbuhan etnosentrisme, tetapi tidak semua anggota kelompok sama etnosentris. Sebagian dari kita adalah sangat etnosentris untuk mengimbangi kekurangan-kekurangan kita sendiri. Kadang-kadang dipercaya bahwa ilmu sosial telah membentuk kaitan erat antara pola kepribadian dan etnosentrisme.
Contohnya: Tidak mau menerima kebudayaan dari luar yg dianggap merusak.
Prasangka dan Diskriminasi
Prasangka atau
prejudice berasal dari kata latian prejudicium, yang pengertiannya sekarang
mengalami perkembangan sebagian berikut :
1.
semula diartikan sebagai suatu presenden, artinya keputusan
diambil atas dasar pengalaman yang lalu
2.
dalam bahas Inggris mengandung arti pengambilan keputusan tanpa
penelitian dan pertimbangan yagn cermat, tergesa-gesa atau tidak matang
3.
untuk mengatakan prasangka dipersyaratkan pelibatan unsur-unsur
emosilan (suka atau tidak suka) dalam keputusan yang telah diambil tersebut
Dalam konteks rasial,
prasangka diartikan:”suatu sikap terhadap anggota kelompok etnis atau ras
tertentu, yang terbentuk terlalu cepat tanpa suatu induksi ”. Dalam hal ini
terkandung suatu ketidakadilan dalam arti sikap yang diambilkan dari beberapa
pengalaman dan yang didengarnya, kemudian disimpulkan sebagai sifat dari
anggota seluruh kelompok etnis.
Prasangka
(prejudice) diaratikan suatu anggapan terhadap sesuatu dari seseorang bahwa
sesuatu itu buruk dengan tanpa kritik terlebih dahulu. Baha arab menyebutnya
“sukhudzon”. Orang, secara serta merta tanpa timbang-timbang lagi bahwa sesuatu
itu buruk. Dan disisi lain bahasa arab “khusudzon” yaitu anggapan baik terhadap
sesuatu.
Prasangka
menunjukkan pada aspek sikap sedangkan diskriminasi pada tindakan. Menurut
Morgan (1966) sikap adalah kecenderungan untuk merespon baik secara positif
atau negarif terhadap orang, obyek atau situasi. Sikap seseorang baru diketahui
setelah ia bertindak atau beringkah laku. Oleh karena itu bisa saja bahwa sikap
bertentangan dengan tingkah laku atau tindakan. Jadi prasangka merupakan
kecenderungan yang tidak nampak, dan sebagai tindak lanjutnya timbul tindakan,
aksi yang sifatnya realistis. Dengan demikian diskriminatif merupakan tindakan
yang relaistis, sedangkan prsangka tidak realistis dan hanya diketahui oleh
diri individu masing-masing.
Prasangka ini
sebagian bear sifatnya apriori, mendahului pengalaman sendiri (tidak
berdasarkan pengalaman sendiri), karena merupakan hasil peniruan atau
pengoperan langsung pola orang lain. Prasangka bisa diartikan suatu sikap yang
telampau tergesa-gesa, berdasarkan generalisasi yang terlampau cepat, sifat
berat sebelah, dan dibarengi proses simplifikasi (terlalu menyederhanakan)
terhadap sesuatu realita. Dalam kehidupan sehari-hari prasangka ini banyak dimuati
emosi-emosi atau unsure efektif yang kuat.

Sebab-sebab
timbulnya prasangka dan diskriminasi :
1.
berlatar belakang sejarah
2.
dilatar-belakangi oleh perkembangan sosio-kultural dan
situasional
3.
bersumber dari factor kepribadian
4.
berlatang belakang perbedaan keyakinan, kepercayaan dan agama
Usaha-usaha
mengurangi/menghilangkan prasangka dan diskriminai
1.
Perbaikan kondisi sosial ekonomi
2.
Perluasan kesempatan belajar
3.
Sikap terbuka dan sikap lapang