Hukum adalah suatu sistem yang sangat penting dalam pelaksanaan suatu kekuasaan atau pun kelembagaan. Dengan adanya hukum, suatu kelembagaan akan terdapat penjagaan-penjagaan yang dapat mengarahkan suatu kelembagaan ke arah yang baik. Hal ini dikarenakan suatu hukum apabila terdapat pelanggaran terhadap hukum tersebut, maka akan diberikan sanksi yang sesuai dengan hukum yang telah diberlakukan.
Suatu Negara dapat berjalan dengan baik salah satunya adalah dikarenakan hukum yang baik pula. Negara yang menjunjung tinggi penegakan hukum dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik. Disebut juga Negara hukum.
Begitu pula di Indonesia. Indonesia adalah suatu Negara hukum yang menjunjung Negaranya untuk menjalankan hukum atas dasar hukum yang adil dan baik. Di Indonesia hukum telah tersusun dengan rapih dan terstruktur. Kalau sudah seperti itu, saya rasa Negara Indonesia hanya tinggal melaksanakannya dan menjalankannya dengan baik tanpa harus ada penyimpangan-penyimpangan yang dapat merapuhkan Negara kita sendiri.
Akan tetapi apakah Negara Indonesia sampai saat ini telah menjadi Negara hukum yang sesungguhnya dalam arti telah menjalankan hukum atas dasar hukum yang adil dan baik? atau malah masih ada terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan hukum tersebut ? atau bahkan sering terjadi ?
Putusan-putusan hakim terhadap bebagai kasus yang seharusnya adalah dapat mencerminkan ideologi hukum. Hal tersebut sangat penting bagi pendidikan hukum di Indonesia. Walaupun demikian itu merupakan hak daripada hakim dalam memutuskan perkara di setiap kasus persidangan, jadi kita harus hormati hal tersebut. Dan mungkin para hakim tersebut lebih mengetahui kasus apa yang sedang ditanganinya itu.
Ada begitu banyak contoh kasus yang membuktikan ketidakarifan penegak hukum. Sebelum penuntutannya dihentikan, tersangka pencuri pisang, Kuatno, 21, dan Topan, 25, diinapkan hampir dua bulan di ruang tahanan Polres Cilacap. Kejaksaan mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan untuk kasus pencurian 15 tandan pisang di Cilacap itu karena para terdakwa tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Setelah diperiksa seorang psikolog, akal Kuatno dan Topan ternyata kurang sempurna.
AAL, 15, pelajar SMKN 3 Palu, Sulawesi Tengah, dipenjara lima tahun hanya karena mencuri sandal seharga Rp30 ribu. Basar Suyanto dan Kholil, keduanya warga Kediri, Jawa Timur, harus berurusan dengan polisi karena kedapatan mencuri sebuah semangka. Sebelum divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Kediri, keduanya pun diinapkan di ruang tahanan. Basar bahkan sempat ditipu Rp. 1 juta oleh seorang oknum penegak hukum yang memberi iming-iming kasusnya dihentikan.
Prita Mulyasari, ibu rumah tangga yang curhat mengenai buruknya layanan sebuah sakit, juga harus berurusan dengan aparat penegak hukum karena dituduh melakukan pencemaran nama baik. Rakyat heboh karena Prita diputus bersalah dan wajib membayar denda Rp. 204 juta. Di Banyumas, Nenek Minah, 55, yang lugu dan polos, harus menjadi pesakitan di ruang pengadilan hanya karena memetik tiga buah kakao milik sebuah perusahaan perkebunan swasta. Sang Nenek pun diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan.
Kasus lain, Nenek Rasminah, 55, yang disangka mencuri enam buah piring pun, harus diselesaikan di pengadilan. Pengadilan Negeri (PN) Tangerang menjatuhkan vonis bebas bagi Rasminah. Namun, jaksa mengajukan kasasi. Hakim di Mahkamah Agung memutus nenek Rasminah bersalah.
Perlakuan oknum penegak hukum terhadap mereka dirasakan tidak wajar. Saat menghadapi rakyat kecil, penegak hukum begitu tegas dan galak. Tidak ada kompromi, tidak juga toleransi. Para tersangka yang jelas-jelas tidak berakal sehat, seperti sosok Kuatno dan Topan, pun ‘dipaksa’ menjalani proses hukum. Nenek Minah yang tidak berniat mencuri kakao pun ‘diseret-seret’ untuk menjalani proses hukum. Ataupun, apa yang dilakukan AAL tidak dilihat sebagai kemungkinan perbuatan seorang remaja nakal.
Inisiatif mendamaikan
Oknum-oknum penegak hukum yang menangani kasus tersebut ibarat orang yang tak mengerti hukum dan pamer kewenangan.Bisa dimaklumi jika mereka tidak mampu menerjemahkan suara hati mereka sendiri. Dengan memproses kasus-kasus tadi, mereka ingin menunjukkan kepada atasan bahwa mereka bekerja dan karena itu layak mendapatkan kredit poin.
Mereka menutup mata terhadap kemungkinan menggunakan instrumen penyelesaian masalah, terutama penyelesaian masalah dengan prinsip musyawarah (restorative justice). Dalam masyarakat Indonesia, prinsip musyawarah sama sekali bukan sesuatu yang baru. Masyarakat perkotaan bahkan masih menerapkan prinsip musyawarah itu. Jika dua mobil bersenggolan di jalan raya, para pemilik keluar dari mobil masing-masing, sesaat beradu argumentasi, lalu bermusyawarah. Siapa yang bersalah, dialah yang mengganti kerugian. Persoalan pun selesai.
Semua contoh kasus tadi, dari kasus pencurian pisang, semangka, hingga kasus pencurian kakao dan pencurian piring adalah persoalan sederhana. Mereka yang berpendidikan pas-pasan pun tahu semua kasus itu bisa diselesaikan di luar ruang pengadilan. Tentunya, itu jika para penegak hukum di lapang an mau mengambil inisiatif mendamaikan pihak-pihak yang bertikai.
Rasa keadilan masyarakat memang terkoyak-koyak ketika melihat semua contoh kasus tadi. Masyarakat kerap membandingkan perlakuan penegak hukum terhadap rakyat kecil dengan perlakuan penegak hukum terhadap para tersangka, terdakwa, dan para terpidana koruptor dan narkoba. Di ruang tahanan atau di penjara, para koruptor menerima layanan kelas satu. Sel penjara disulap menjadi kamar mewah dan nyaman. Mereka bisa memenuhi semua kebutuhan karena kompromi dan toleransi dari penegak hukum. Banyak dari mereka yang mendapat izin untuk pelesiran.
Karena itu, menjadi masuk akal jika rakyat kecil merasa tertindas oleh kesemena-menaan oknum penegak hukum. Apalagi, dalam sejumlah kasus yang dianggap aneh menurut logika publik, para ahli hukum sekalipun bahkan sering mendeskripsikan perlakuan penegak hukum dan vonis pengadilan terlalu melukai rasa keadilan rakyat.
Rakyat mengetahui semua itu. Bukankah sudah banyak penegak hukum terjerat oleh hukum karena memburu uang suap? Oleh karena itu, di beberapa tempat mulai timbul benih-benih perlawanan terhadap kesemena-menaan penegak hukum. Dari bentuk perlawanan paling ekstrem hingga yang paling sederhana, seperti pengumpulan koin untuk Prita atau pengumpulan sandal jepit.
Saat ini, penegak hukum mempunyai dua pekerjaan besar. Pertama, memperbaiki citra di mata rakyat. Kedua, penegak hukum di lapangan harus memperbaiki kinerja. Tingkatkan profesionalisme. Hayati benar arti rasa keadilan masyarakat. Jangan lagi bertindak semena-mena. Kalau persoalannya bisa diselesaikan di lapangan, tawarkan semangat musyawarah kepada pihak-pihak yang bertikai.
No comments:
Post a Comment